Dayak Maanyan sebagaimana Dayak Lainnya
di Kalimantan Tengah pada awalnya menganut kepercayaan (Agama)
Kaharingan yang sampai saat ini sangat mempengaruhi kebudayaan yang diwariskan kepada generasi baru yang menganut Agama Samawi (kebanyakan Kristen dan katolik).
Sepegetahuan saya ada, di banyak daerah
misionaris Kristen dan Katolik baru mencapai desa dan dusun pedalaman
tahun 1970, otomatis sebelum kebanyakan Masyarakat dayak Maanyan Benua
Lima di daerah terpencil menganut kepercayaan (sekarang Agama)
Kaharingan, yang oleh pemerintah waktu itu “dipaksa” menjadi Hindu
Kaharingan.
Oleh karena itu beberapa upacara adat
kematian Dayak Maanyan adalah warisan budaya yang dijiwai Agama
Kaharingan yang dipeluk oleh leluhur Dayak Maanyan.
Pada dasarnya, secara hukun adat Dayak
Maanyan terbagi tiga wilayah hukum adat yaitu wilayah Banua Lima, Paju
Empat dan Paju Sepuluh (kampung sepuluh) terdapat bentuk-bentuk
upacara kematian yang beragam. namun karena pengetahuan saya terbatas,
maka saya hanya akan menjelaskan yang masuk hukum Adat Benua Lima.
Masyarakat Dayak Maanyan dulu menggambarkan bahwa kematian adalah sebuah awal perpindahan atau perjalanan roh (adiau atau amirue) ke kemuliaan dunia baru (tumpuk adiau) yang
subur, damai, tentram, kaya raya dimana di sana ada kesempurnaan,
kesehatan, awet muda dan kehidupan yang abadi. seorang Belian orang mati
(wadian matei) yang saya interview menggambarkan amirue/adiau akan diantar ke
tumpuk janang jari, kawan nyiui pinang kakuring, wahai kawan intan
amas, parei jari, kuta maharuh, welum sanang, puang mekum maringin, arai
hewu (Roh yang meninggal kan di bimbing perjalanannya oleh belian
menuju tempat/perkampungan yang subur, kelapa dan pinang menghijau
indah, bertaburkan intan dan emas, padi yang subur, makanan yang enak,
hidup sejahtera, selalu sehat dan gembira)
Pada dasarnya Upacara (adat) kematian merupakan berbagai jenis
upacara (serangkaian) dari kematian sampai beberapa upacara untuk
mengantar adiau/roh ke tumpuk adiau/dunia akhirat’.