Seorang pria bertubuh kurus berdiri. Kepalanya tak berambut dan
sedikit miring ke arah kanan. Bajunya kelihatan baru dengan setelan dasi
bercorak abu-abu. Banyak masyarakat yang mengelilingi, tampak bahagia
dan bersuka cita dengan berbagai hidangan yang disediakan. Ternyata
orang itu adalah seorang mayat. Ma’nene namanya, kebudayaan dari Tana Toraja, Sumatera Selatan.
Tana Toraja sangat dikenal dengan berbagai kebudayaan yang tak lazim
orang dengar. Sensasi ini dimanfaatkan untuk menggaet wisatawan
berkunjung, baik domestik maupun mancanegara. Alih-alih untuk
melestarikan budaya nenek moyang, tradisi ini juga dapat meningkatkan
perekonomian lewat wisata. Terkenal dengan tradisi pemakaman yang tak
biasa, Toraja juga memiliki keunikan lainnya seperti Ma’nene.
Ma’nene merupakan upacara adat mengganti pakaian mayat para
leluhur. Upacara ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan biasanya
pada bulan Agustus. Ritual Ma’nene dilakukan khusus oleh
masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Masyarakat adat Toraja
percaya bahwa jika ritual tersebut tidak dilakukan, maka sawah-sawah dan
ladang mereka akan rusak oleh hama dan ulat yang datang tiba-tiba.
Proses Ma’nene sudah berlangsung sejak lama dan waktu
pelaksanaannya berdasarkan kesepakatan bersama keluarga dan tetua adat
melalui musyawarah desa. Ne’tomina merupakan gelar adat yang diberikan kepada tetua kampung, di mana orang yang dituakan juga imam atau pendeta
Saat Ma’nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur akan
dikeluarkan dari makam-makam liang batu dan diletakkan di arena upacara.
Baik jasad tersebut sudah tinggal tulang-belulang sampai yang masih
utuh dibersihkan dengan cara dimandikan lalu pakaiannya diganti.
Bagi mayat pria akan dikenakan pakaian jas lengkap dengan dasi dan
kacamata hitam yang serba baru. Biasanya baju tersebut dibelikan oleh
cucu dan anak-anak mereka yang sudah berhasil. Mereka memperlakukan
mayat tersebut seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian dari
keluarga.
Ritual Ma’nene dimulai dari seorang pemburu bernama Pong
Rumasek yang menemukan jasad sesorang yang telah lama meninggal dunia
terletak di bawah pepohonan dan hanya tinggal tulang-belulang. Merasa
iba, Pong Rumasek membawa mayat tersebut ke rumah lalu merawat dengan
semampunya.
Tulang-tulang dari mayat tersebut dibersihkan lalu dibungkus dengan
pakaian dan diletakkan di area yang lapang. Setelah memperlakukan mayat
tersebut dengan baik, Pong tak menyangka mendapati sawah miliknya telah
menguning dan panen sebelum waktunya. Ia beranggapan bahwa keberuntungan
itu didapatkannya sebab ia telah merawat mayat yang ia temukan. Sejak
saat itu, Pong Rumasek menurunkan tradisi tersebut kepada keturunannya
dan desa tempat ia tinggal dan hingga saat ini masih berjalan dengan
baik.
Kegiatan ini dilakukan selama tiga puluh menit. Usai mengganti
pakaian mayat leluhur, masyarakat kemudian berkumpul mengikuti acara
makan bersama. Makanan yang disajikan adalah hasil sumbangan setiap
keluarga keturunan leluhur yang melaksanakan kegiatan prosesi adat Ma’nane. Masyarakat Toraja berharap arwah leluhur mereka akan menjaga mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.
Ma’nene biasanya dilakukan beriringan dengan upacara adat Rambu Solo,
di mana keluarga membawa kurban hewan seperti babi atau kerbau ke
kuburan untuk meminta perlindungan dan mendoakan agar rezeki melimpah.
Beberapa tempat melakukan Ma’nene biasanya disebut Ma’ta’da yang artinya memberikan sesajian kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia.