‘Etu
adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara
para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya.
Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian
tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan
masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga
bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan
wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita
akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.
Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu
dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang
dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa
disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran
antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan
pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan
purnama.
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”.
Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan
dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang
dalam bahasa adat disebut “mada” Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian. Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen. Menariknya,
dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang
perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan
dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut
dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu”
yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan
para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para
petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena
bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara
persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil
menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni
pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda
bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para
penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah
dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang
datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat,
sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak
perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan
cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di
sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang
telah disiapkan disetiap rumah.
Kedua petinju
pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan
bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang
kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas
dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah
alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak
seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk
yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam
genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda
ini pasti akan berdarah.
Penonton
semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang
petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia berfungsi
menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu
menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus
lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun
menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan
petinju.
Kedua petinju
mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai
dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike
terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika
mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan
salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya.
Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga,
sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan
tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi.
Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin
membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko,
pertandingan pun diakhiri.
Seorang
petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang
wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian.
Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan
pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan
keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju
sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan
satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus
bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke
kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah
ditentukan sesuai peredaan bulan.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka
ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu
ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago
tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang
mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan
membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa
dan diseret ke “ring”.
Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah
kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi
tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi
lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan
bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi
sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu beristirahat.