Indonesia adalah negara yang menurut saya kaya dengan hasil alamnya, bahasa yang berbeda di setiap wilayah, tradisi dan adatnya juga sangat berbeda-beda dan tentu unik, ekstrim, mistis, menegangkan semua ada di indonesia.

     Indonesia yang memiliki banyak adat dan kebudayaan, juga mempunyai beragam upacara tradisional yang menarik. Hingga saat ini, banyak dari upacara tradisional tersbeut masih dilaksanakan di daerah asalnya masing-masing. Bahkan, upacara tersebut juga menjadi ajang wisata budaya bagi banyak turis, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Berikut ini ada sepuluh upacara tradisional Indonesia yang unik dan khas :

1. Ngaben - Bali

http://balitour.net/id/view/ngaben-upacara-kremasi-di-bali-yang-unik-dan-penuh-makna/
Ngaben adalah upacara pembakaran jenazah di Bali yang sangat terkenal bahkan hingga ke mancanegara karena keunikannya. Ngaben biasanya lazim disebut kremasi sebagai istilah umumnya. Sesungguhnya kremasi tak hanya dilakukan oleh umat Hindu, tapi oleh beberapa umat agama lain. Namun, hanya di Bali-lah ditemukan prosesi pembakaran jenazah yang begitu unik, semarak, megah, dan penuh kesenian. Tak ayal, pelaksanaan ngaben ini sering dipadati oleh wisatawan yang ingin menyaksikan secara langsung keunikan prosesi pembakaran jenazah unik satu-satunya di dunia ini. 


 
Ngaben sebenarnya adalah istilah yang biasa digunakan untuk golongan masyarakat umum seperti yang diatur dalam struktur sosial masyarakat adat Bali. Sedangkan dari kalangan bangsawan atau keluarga kerajaan prosesi itu disebut dengan Pelebon. Ngaben berasal dari kata ngabuin atau ngabu yang berarti menjadikan abu, sedangkan pelebon berasal dari kata pelebuan yang mempunyai arti sama, yaitu menjadikan abu. Upacara Ngaben dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui kelahiran kembali ataupun moksha (bersatu dengan Tuhan).

Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan lumayan besar, upacara memakan waktu yang cukup lama. Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad atau disebut layon sering dikebumikan terlebih dahulu menunggu biaya pengabenan tercukupi. Jika dihitung, pengabenan dengan mempergunakan metode ini cukup banyak memangkas biaya. Jika biaya ngaben perseorangan biasanya memakan biaya 15 – 25 juta rupiah, dengan melakukan pengabenan massal biaya per orang rata-rata tak lebih dari 5 juta rupiah dengan upacara yang lengkap. Namun bagi beberapa keluarga yang mampu secara finasial, upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, kemudian menunggu keputusan pemilihan hari baik menurut kalender Hindu Bali dan kesepakatan bersama keluarga serta pertimbangan dari Pedanda (Pendeta Hindu). Upacara ngaben yang tercatat paling megah dan memerlukan biaya paling mahal di Bali adalah upacara pelebon di keluarga Kerajaan Ubud yang diperkirakan memakan biaya hingga milyaran rupiah.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan melihat kalender Bali yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan “bade dan lembu.” Bade dan lembu yang merupakan perlengkapan utama untuk pelaksanaan upacara ngaben dipersiapkan oleh tim yang dipimpin oleh seorang Undagi atau arsitek tradisional Bali. Bade adalah menara megah dengan atap bertingkat yang akan digunakan sebagai wadah peti layon menuju lokasi upacara yang terbuat dari kayu dan bambu yang dihias dengan motif warna-warni dari kertas yang diukir. Sedangkan lembu adalah wadah untuk peti layon pada saat dilaksanakannya upacara pembakaran. Seperti namanya, lembu berbentuk seperti seekor lembu. Namun, biasanya tak hanya bentuk lembu yang digunakan, bentuk lain seperti singa, padma, naga banda (digunakan khusus keturunan raja), dan lain sebagainya juga digunakan sesuai golongan atau kasta orang yang bersangkutan. 

http://balitour.net/id/view/ngaben-upacara-kremasi-di-bali-yang-unik-dan-penuh-makna/
Pada hari pelaksanaan upacara, sejak dini hari aktivitas di rumah persemayaman layon sudah banyak diwarnai dengan segala persiapan dan persembahyangan. Memasuki siang hari, biasanya segala persiapan sudah rampung dan mulai terdengar bunyi gamelan beleganjur yang penuh semangat seakan membawa suasana jauh dari duka. Kemudian, layon dikeluarkan dari ruang persemayaman untuk disiapkan di atas bade yang ada di jalan depan kediaman untuk diarak menuju lokasi upacara, yaitu setra atau kuburan desa. 

http://balitour.net/id/view/ngaben-upacara-kremasi-di-bali-yang-unik-dan-penuh-makna/  

Prosesi arak-arakan terdiri dari barisan pemusik angklung, pembawa banten, para pande atau ahli tempa besi, gamelan balaganjur, kemudian diikuti barisan kerabat dan keluarga. Sebuah tradisi menghantarkan kematian seseorang yang meriah layaknya sebuah pesta rakyat yang digelar dengan suka cita. Barisan arak-arakan, membuat suasana menjadi meriah di sepanjang perjalanan menuju lokasi upacara ngaben. Pada saat menemui perempatan atau persimpangan jalan, bade dan lembu diarak berputar dari arah timur ke selatan atau dari kiri ke kanan sesuai dengan arah jarum jam sebanyak tiga kali (simbol utpti, stiti, pralina) sambil menyanyikan kidung-kidung sebagai simbol “peningkatan status” dengan harapan arwah orang yang meninggal mendapat tempat terbaik dan nantinya dapat bereinkarnasi menjadi manusia yang lebih baik.

Sesampainya di tempat upacara, jasad ditaruh di punggung lembu yang diyakini sebagai kendaraan menuju nirwana. Kemudian prosesi pun dimulai dengan dipimpin oleh pendeta. Pada saat prosesi pembakaran seluruh keluarga pun berkumpul. Suasana terasa khidmat dengan disertai kidung pengantar yang terdengar sangat mengharukan. Tak jarang pada saat ini, banyak keluarga dari mendiang yang menitikkan air mata melepas kepergian orang yang dicintainya. Setelah semuanya menjadi abu, kemudian abu tersebut dilarung atau dihanyutkan ke laut atau jika jarak laut terlalu jauh dapat juga dilakukan di sungai yang pasti nantinya juga akan bermuara ke laut. Bagi umat Hindu Bali, laut merupakan simbol alam semesta yang menjadi pintu untuk memasuki rumah Tuhan. Selain itu, melarung abu orang yang telah meninggal ke laut juga bermaksud untuk mengembalikan tubuh duniawi yang terdiri dari lima unsur (air, panas, udara, ruang, tanah) ke asalnya yaitu alam semesta.

Ngaben memang merupakan sebuah ritual yang sangat penting bagi masyarakat Bali. Masyarakat Bali meyakini bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan awal dari kehidupan baru yang lebih baik, sehingga melepas kematian seseorang harus disertai dengan doa, kerelaan, serta suka cita untuk menghantarkan orang yang dicintai bebas dari ikatan keduniawian. 

Sumber : http://balitour.net/id/view/ngaben-upacara-kremasi-di-bali-yang-unik-dan-penuh-makna/

 


2. Ruwatan Rambut Gimbal - Dieng

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/08/01/ritual-cukur-rambut-gimbal-gembel
Diceritakan bahwa di daerah Dataran tinggi Dieng, berkuasa seorang pemimpin yaitu  Kyaì Kolodete yang memìlìkì rambut Gimbal Belìau bersumpah tìdak akan mencukur rambutnya hìngga kawasan Dataran tìnggì Dieng makmur. bìla keìngìnannya belum terwujud , dìa akan menìtìskan rohnya pada anak yang baru lahìr atau sedang mulaì bìsa berjalan. Hingga saat ini, banyak anak-anak yang dilahirkan memiliki rambut gimbal dan dipercaya sebagai titisan Kyai Kolodete tersebut masih banyak dijumpai disekitar wilayah Dataran Tinggi Dieng. rambut gimbal masih dapat kita temui di kalangan masyarakat keturunan asli Dieng. Berdasarkan mitos, rambut gembel anak-anak Dieng dianggap sebagai bala (petaka) sehingga anak yang telah dipangkas rambut gembelnya dipercayai akan tumbuh menjadi anak baik yang panjang umur dan banyak rezeki.

Untuk memotong rambut gimbal ini, harus menuruti keinginan si anak. Jika dilakukan tanpa permintaan si anak, maka ia akan jatuh sakit dan rambutnya akan gimbal kembali. Kemunculan rambut gimbal pada seseorang rata-rata bermula dari demam dengan panas tubuh yang tinggi. Tidak terikat garis keturunan , rambut gimbal masih bermunculan secara acak pada orang-orang yang mempunyai garis keturunan dari Dataran ini. Masyarakat Dataran Tinggi Dieng mempercayai bahwa keberadaan rambut gembel adalah titipan Kyai Kolodete.

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/08/01/ritual-cukur-rambut-gimbal-gembel
Wilayah dataran tinggi dieng terbagi menjadi 2 wilayah yaitu kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara , pada tanggal 30 Juli 2016 kemarin dilaksanakan prosesi cukur rambut gimbal di wilayah kabupaten Wonosobo, bertepatan dengan Hari Jadi Kabupaten Wonosobo yang ke 191. Kali ini prosesi cukur rambut gimbal di laksanakan di Telaga Menjer yang merupakan wilayah Kecamatan Garung Kabupaten Wonosobo dan berada di lereng bawah dataran dinggi dieng sekitar 13 km arah selatan. Ada sekitar 15 Anak yang memiliki rambut gimbal di cukur hari itu, dengan berbagai macam keinginan yang merupakan keinginan yang wajib di cari, disediakan dan di turuti , masyarakat percaya jika keinginan anak rambut gimbal belum di turuti maka ritual potong rambut belum bisa di lakukan.


https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/08/01/ritual-cukur-rambut-gimbal-gembel
Ke 15 Anak yang berusia mulai 2 hingga 15 tahun tersebut sudah mengucapkan keinginanya masing masing , ada yang hanya meminta sekarung permen berwarna putih, ada yang meminta 3 ekor kambing, meminta HP ( handphone ) meminta ayam jantan, hingga meminta mainan layaknya anak anak, tetapi ada yang unik kali ini hanya meminta pak Lurah satempat untuk berjoget sebelum rambutnya di cukur. Sebelumnya sesepuh dan tetua adat masyarakat dieng berdoa dan memimpin ritual ini, sebelum nantinya para tamu undangan akan ikut serta menjadi bagian untuk memotong rambut gimbal ini.

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/08/01/ritual-cukur-rambut-gimbal-gembel

Tepat pukul 9;45 WIB prosesi pemotongan rambut gimbal ini dilaksanakan , pemotongan pertama di awali oleh Ibu Menteri BUMN RI yaitu Ibu Rini Sumarmo, yang kebetulan saat itu menjadi tamu kehormatan Pemotongan, dilanjutkan oleh Bupati dan Pejabat lain di lingkungan Pemkab Wonosobo, turut serta juga yang mendapat giliran adalah Para Pelajar dari Berbagai Dunia yang menjadi bagian dari Pertukaran Pelajar internasional.
Selanjutnya rambut rambut gimbal yang sudah di cukur dimasukan dalam wadah yang terbuat dari tanah liat         ( guci ) kecil dan akan di larung di tengah Telaga Menjer. Pelarungan potongan rambut gimbal ke Telaga menyimbolkan pengembalian bala (kesialan) yang dibawa  anak berambut gimbal kepada para dewa. Ada kepercayaan bahwa anak-anak gimbal ini ditunggui jin dan pemotongan rambut tersebut akan mengusir jin keluar dari tubuhnya sehingga segala bala akan hilang dan rezeki pun datang dan mereka akan dapat hidup normal dan layak sebagaimana anak anak lainnya ,

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/08/01/ritual-cukur-rambut-gimbal-gembel

Prosesi ritual rambut gimbal adalah prosesi unik maka tak heran jika kedua wilayah ini memasukan prosesi ini menjadi kalender event yang bertaraf Internasional , bahkan bisa mendatangkan ribuan penganjung setiap kali prosesi ini dilaksanakan, untuk minggu depan giliran Wilayah Kabupaten Banjarnegara yang akan melaksanakan prosesi ini.
Memang Sulit dijelaskan secara logis, namun rambut Gimbal pada anak anak keturunan dieng memiliki nuansa-nuansa mistis dan dianggap suci yang menarik untuk ditelisik lebih jauh lagi. Dari namanya, Dieng berasal dari kata jawa kuno  dihyang yang berarti tempat arwah para leluhur. Salah satu ritual rutin yang biasa  dilakukan oleh masyarakat Dieng adalah Ruwatan Rambut Gimbal.( fadkus)

Sumber : https://www.goodnewsfromindonesia.id/2016/08/01/ritual-cukur-rambut-gimbal-gembel

 

 

3. Batombe - Sumatera Barat

http://infartikel.blogspot.co.id/2016/11/tradisi-batombe.html

Batombe adalah pertunjukan seni pertunjukan dimana kaum lekaki dan perempuan akan saling balas-membalas pantun, dengan penyampaian yang mendendang tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi yang menonton.

Berdasarkan sejarah tradisi kesenian batombe berawal dari tradisi saat membangun rumah gadang dan kedua tradisi ini saling berkaitan, konon pada zaman dahulu masyarakat nagari abai masih sangat sepi dan sunyi karena terus di selimuti beragam ancaman seperti hewan buas yang liar dan cuaca yang ekstrim. Oleh sebab itulah masyarakat pada saat itu ber inisiatif untuk membangun rumah gadang yang bisa di tempati masyarakat bersama-sama, adapun tujuan tradisi seni ini adalah untuk memberikan motivasi bagi pria yang sudah dewasa agar terus bersemangat menebang pohon ke hutan setelah makan siang. Nantinya pohon yang di tebang akan di jadikan tonggak, tiang ataupun papan untuk membangun rumah gadang pertama yang berlokasi di nagari abai.

Rumah gadang sendiri lebih di kenal dengan sebutan rumah gadang 21 ruang, dan termasuk rumah adat terpanjang di sumatera barat.  Fungsi rumah gadang bukan hanya menjaga keselamatan masyarakat atau penduduk dari dari serbuan binatang liar, juga sebagai tempat tinggal keluarga.
Pembangunan rumah gadang juga di peruntukan sebagai tempat pertemuan dan merupakan pusat pagelaran seni
dan budaya.

Sebelum tradisi balas pantun atau batombe di mulai akan ada prosesi penyembelihan seekor kerbau atau sapi bisa juga kambing minimal, jika tradisi ini tanpa menyembelih hewan tersebut bisa dianggap telah melanggar aturan tradisi atau berutang secara adat.


Hal tersebut karena terkait dengan adanya sebuah cerita turun-temurun di kalangan masyarakat nagari abai, konon awalnya sebatang pohon yang akan di jadikan tiang rumah gadang 21 ruang sangat susah di tarik setelah di tebang, namun saat di adakan penyembelihan hewan kerbau pohon yang semula alot menjadi sangat mudah saat di tarik oleh penduduk nagari abai.


Meskipun pembangunan rumah adat nagari di nagari abai terhenti pada tahun 1960-an, namun tradisi balas pantun Batombe tetap lestari dan masyarakat nagari abai berupaya tetap berusaha akan menjaga dan melestarikan salah satu tradisi lisan minang yang sangat unik ini dengan menjadikannya sebagai sarana hiburan untuk masyarakat, tradisi ini masih eksis di acara seperti perkawinan, pengangkatan datuk, festival kebudayaan, penyambutan tamu khsuus, dan ajang promosi bagi wisata daerah.
Untuk tata cara batombe sendiri akan di awali dengan pembacaan pantun pembukaan oleh seorang datuk, kemudian para pemain batombe memasuki arena dan harus membuat lingkaran.
Untuk pemain sendiri berjumlah 10 orang lelaki dan 3 orang perempuan, nanti 12 di antaranya akan bergerak menari dengan membentuk garis lingkaran, sementara untuk 1 orang akan menari di dalam lingkaran itu.

Tak lupa juga batombe di iringi dengan musik dengan irama yang mengundang kebahagiaan, alat musik yang di gunakan biasanya memakai gendang dan telempong, kedua alat tersebut akan dimainkan dengan tempo yang cepat mengikuti irama tarian dan nyanyian yang di bawakan oleh para pelaku batombe.

Setiap peserta yang ikut akan memaki pakaian khusus yang menyerupai pakaian randai atau silat, tetapi ada sedikit perbedaan yaitu terletak pada motifnya yang berada pada bagian lengan baju.
Randai atau silat itu biasanya digunakan dengan motif yang terlihat polos, sedangkan batombe bahannya halus dan di sulam menggunakan benang emas sehingga terlihat mencolok.
Untuk warna pakaiannya juga lebih bervariasi dan bermacam-macam seperti berwarna memrah,kuning,hijau dan hitam. Lalu pada bagian ikat kepala berwarna kuning ke-emasan, kemudian pada bagian pinggang biasanya di hiasi sehelai kain benang emas dan celana sengaja dirancang lebih besar pada bagian paha, jika di amati lebih mirip dengan sarung.

4. Ma'nene - Toraja


https://suarausu.co/ritual-manene-tradisi-mengganti-pakaian-mayat-tana-toraja/


Seorang pria bertubuh kurus berdiri. Kepalanya tak berambut dan sedikit miring ke arah kanan. Bajunya kelihatan baru dengan setelan dasi bercorak abu-abu. Banyak masyarakat yang mengelilingi, tampak bahagia dan bersuka cita dengan berbagai hidangan yang disediakan. Ternyata orang itu adalah seorang mayat. Ma’nene namanya, kebudayaan dari Tana Toraja, Sumatera Selatan.
Tana Toraja sangat dikenal dengan berbagai kebudayaan yang tak lazim orang dengar. Sensasi ini dimanfaatkan untuk menggaet wisatawan berkunjung, baik domestik maupun mancanegara. Alih-alih untuk melestarikan budaya nenek moyang, tradisi ini juga dapat meningkatkan perekonomian lewat wisata. Terkenal dengan tradisi pemakaman yang tak biasa, Toraja juga memiliki keunikan lainnya seperti Ma’nene.

Ma’nene merupakan upacara adat mengganti pakaian mayat para leluhur. Upacara ini dilakukan setiap tiga tahun sekali dan biasanya pada bulan Agustus. Ritual Ma’nene dilakukan khusus oleh masyarakat Baruppu di pedalaman Toraja Utara. Masyarakat adat Toraja percaya bahwa jika ritual tersebut tidak dilakukan, maka sawah-sawah dan ladang mereka akan rusak oleh hama dan ulat yang datang tiba-tiba.

Proses Ma’nene sudah berlangsung sejak lama dan waktu pelaksanaannya berdasarkan kesepakatan bersama keluarga dan tetua adat melalui musyawarah desa. Ne’tomina merupakan gelar adat yang diberikan kepada tetua kampung, di mana orang yang dituakan juga imam atau pendeta
Saat Ma’nene berlangsung, peti-peti mati para leluhur akan dikeluarkan dari makam-makam liang batu dan diletakkan di arena upacara. Baik jasad tersebut sudah tinggal tulang-belulang sampai yang masih utuh dibersihkan dengan cara dimandikan lalu pakaiannya diganti.

Bagi mayat pria akan dikenakan pakaian jas lengkap dengan dasi dan kacamata hitam yang serba baru. Biasanya baju tersebut dibelikan oleh cucu dan anak-anak mereka yang sudah berhasil. Mereka memperlakukan mayat tersebut seolah-olah masih hidup dan tetap menjadi bagian dari keluarga.
Ritual Ma’nene dimulai dari seorang pemburu bernama Pong Rumasek yang menemukan jasad sesorang yang telah lama meninggal dunia terletak di bawah pepohonan dan hanya tinggal tulang-belulang. Merasa iba, Pong Rumasek membawa mayat tersebut ke rumah lalu merawat dengan semampunya.

Tulang-tulang dari mayat tersebut dibersihkan lalu dibungkus dengan pakaian dan diletakkan di area yang lapang. Setelah memperlakukan mayat tersebut dengan baik, Pong tak menyangka mendapati sawah miliknya telah menguning dan panen sebelum waktunya. Ia beranggapan bahwa keberuntungan itu didapatkannya sebab ia telah merawat mayat yang ia temukan. Sejak saat itu, Pong Rumasek menurunkan tradisi tersebut kepada keturunannya dan desa tempat ia tinggal dan hingga saat ini masih berjalan dengan baik.

Kegiatan ini dilakukan selama tiga puluh menit. Usai mengganti pakaian mayat leluhur, masyarakat kemudian berkumpul mengikuti acara makan bersama. Makanan yang disajikan adalah hasil sumbangan setiap keluarga keturunan leluhur yang melaksanakan kegiatan prosesi adat Ma’nane. Masyarakat Toraja berharap arwah leluhur mereka akan menjaga mereka dari gangguan jahat, hama tanaman, juga kesialan hidup.

Ma’nene biasanya dilakukan beriringan dengan upacara adat Rambu Solo, di mana keluarga membawa kurban hewan seperti babi atau kerbau ke kuburan untuk meminta perlindungan dan mendoakan agar rezeki melimpah. Beberapa tempat melakukan Ma’nene biasanya disebut Ma’ta’da yang artinya memberikan sesajian kepada arwah keluarga yang telah meninggal dunia.

 

Sumber : https://suarausu.co/ritual-manene-tradisi-mengganti-pakaian-mayat-tana-toraja/

5. Miya - Dayak

https://tumpuknatat.wordpress.com/2009/05/11/berbagai-upacara-adat-kematian-dayak-maanyan/
Dayak Maanyan sebagaimana Dayak Lainnya di Kalimantan Tengah pada awalnya menganut kepercayaan (Agama) Kaharingan yang sampai  saat ini sangat mempengaruhi kebudayaan yang diwariskan kepada generasi baru yang menganut Agama Samawi (kebanyakan Kristen dan katolik).
Sepegetahuan saya ada, di banyak daerah misionaris Kristen dan Katolik baru mencapai desa dan dusun pedalaman tahun 1970, otomatis sebelum   kebanyakan Masyarakat dayak Maanyan Benua Lima di daerah terpencil menganut kepercayaan (sekarang Agama) Kaharingan, yang oleh pemerintah waktu itu “dipaksa” menjadi Hindu Kaharingan.
Oleh karena itu beberapa upacara adat kematian Dayak Maanyan adalah warisan budaya yang dijiwai Agama Kaharingan yang dipeluk oleh leluhur Dayak Maanyan.
 
Pada dasarnya, secara hukun adat Dayak Maanyan terbagi  tiga wilayah hukum adat yaitu  wilayah Banua Lima, Paju Empat dan Paju Sepuluh  (kampung sepuluh) terdapat bentuk-bentuk upacara kematian yang beragam. namun karena pengetahuan saya terbatas, maka saya hanya akan menjelaskan yang masuk hukum Adat Benua Lima.
 
Masyarakat Dayak Maanyan dulu menggambarkan bahwa kematian adalah sebuah awal perpindahan atau perjalanan roh (adiau atau amirue) ke kemuliaan dunia baru (tumpuk adiau) yang subur, damai, tentram, kaya raya dimana di sana ada kesempurnaan, kesehatan, awet muda dan kehidupan yang abadi. seorang Belian orang mati (wadian matei) yang saya interview menggambarkan amirue/adiau akan diantar ke tumpuk janang jari, kawan nyiui pinang kakuring, wahai kawan intan amas, parei jari, kuta maharuh, welum sanang, puang mekum maringin, arai hewu (Roh yang meninggal kan di bimbing perjalanannya oleh belian menuju tempat/perkampungan yang subur, kelapa dan pinang menghijau indah, bertaburkan intan dan emas, padi yang subur, makanan yang enak, hidup sejahtera, selalu sehat dan gembira)
Pada dasarnya Upacara (adat) kematian merupakan berbagai jenis upacara (serangkaian) dari kematian sampai beberapa upacara untuk mengantar adiau/roh ke tumpuk adiau/dunia akhirat’.

Sumber : https://tumpuknatat.wordpress.com/2009/05/11/berbagai-upacara-adat-kematian-dayak-maanyan/

6. Manulangi Natua-Tua - Batak

Manulangi Natua-Tua merupakan sebuah upacara adat masyarakat Batak yakni memberi makan kepada orangtua.Upacara ini khusus dilakukan kepada orangtua ketika mereka sudah menginjak masa tua.Selain itu, upacara ini biasanya juga dilakukan ketika orangtua tersebut sudah memasuki masa kritis (mendekati kematian). Upacara manulangi natua-tua ini hanya dapat dilakukan jika orangtua tersebut sudah memiliki cucu. Umumnya, upacara adat ini dilakukan oleh masyarakat yang berada di daerah perantauan. 

Kegiatan masyarakat Batak di dalam tatanan adat dan budaya adalah benar-benar bagian dari hidup dan kehidupan mereka. Kegiatan tersebut dilakukan dengan tetap memikirkan dan berlandaskan pada kelayakan dalam kewajaran yang berpedoman pada adat dan kebiasaan masyarakat. Kegiatan tersebut (tradisi dan upacara adat) di dalam kehidupan masyarakat Batak dianggap memiliki makna dan diyakini oleh mereka yang melakukannya. Dari sekian banyak kegiatan upacara dan acara adat Batak, yang masih sering dilaksanakan ialah manulangi (menyuapi atau memberi makan). Upacara manulangi ini dapat terjadi dalam beberapa konteks peristiwa. Misalnya, seorang wanita yang hamil untuk pertama kali. Contoh lainnya ketika seorang wanita sudah lama tidak melahirkan satu anak pun, pergi beserta suami dan para kerabat ke rumah orangtuanya untuk manulangi dengan tujuan supaya ia diberkati dan melahirkan anak. Upacara adatmanulangi ini juga dapat dilakukan kepada seorang ayah atau ibu yang sudah tua (manulangi natua-tua) untuk memohon atau meminta berkat darinya. 


http://farahdiba.it.student.pens.ac.id/visitsumut/index.php?page=upacara1Unsur-unsur dalam Upacara 

Makan dan makanan adalah hal penting bagi orang Batak. Waktu makan adalah titik terpenting di dalam satu hari. Makanan yang dimakan kaya akan daya tondi (kekuatan) sehingga makan harus dilakukan dalam keadaan damai dan tenang. Kekhasan dalam acara makan masyarakat batak ialah ketersediaan daging sehingga daging harus disiapkan oleh yang melakukan acara. Ada dua jenis daging yang khas yang digunakan oleh masyarakat Batak dalam suatu upacara adat yaitu babi dan kerbau. Kerbau merupakan hewan yang dihargai karena membantu petani membajak sawah. Keunikan dari upacara adat masyarakat Batak ialah daging yang akan dimakan pada saat upacara bukanlah daging yang dibeli di pasar tetapi harus hewan yang disembelih. Terkadang, sebelum hewan disembelih, diucapkan kata-kata yang khidmat (dihatahon) sehingga makanan yang akan dipersembahkan dianggap sudah disucikan (na tinabean) serta mendatangkan keberuntungan. Di antara kebiasaan yang ada kaitannya dengan hidangan makan ialah manulangi. Dengan demikian, makanan dan daging menjadi unsur utama yang harus ada dalam upacara masyarakat Batak, termasuk dalam upacara manulangi natua-tua. 

Proses Pelaksanaan

Pertama-tama, perlu dibicarakan dan diambil kesepakatan dari setiap anak, perihal kapan upacara tersebut akan dilakukan. Upacara baru dapat dilaksanakan, ketika telah dihasilkan kesepakatan bersama dari setiap anak dan semua anak berserta cucu-cucunya berkumpul di rumah orangtua. Pada hari pelaksanaan, semua keturunan dari orangtua ini akan memberikan suapan. Suapan dilakukan secara berurut, mulai dari anak laki-laki paling tua beserta isterinya sampai kepada anak laki-laki paling muda beserta isterinya, dilanjutkan dengan cucu tertua dari anak laki-laki paling tua sampai cucu termuda dari anak laki-laki paling muda, dilanjutkan lagi dengan anak perempuan paling tua beserta suami sampai anak perempuan paling muda, dan terakhir dilanjutkan dengan cucu tertua dari anak perempuan paling tua sampai cucu terakhir dari anak perempuan yang paling muda. Setiap anak akan menyuapi makanan kepada orangtua tersebut sebanyak tiga kali dengan diiringi kata-kata kasih sayang. Terkadang, dalam pelaksanaan upacara ini, digandengkan pula dengan pembagian harta warisan secara paruma tano, paruma gogo (artinya: harta warisan sudah dibagi, tetapi hasilnya masih tetap di tangan orang tua semasa hidupnya) dari orang tua kepada anak-anaknya. Biasanya, khusus untuk hal ini, acara pembagian warisan tersebut dilakukan terlebih dahulu secara intern dengan wasiat tertulis, dan hanya dihadiri oleh kerabat dekat sebagai saksi sebelum upacara manulangi natua-tua dilaksanakan.  

Sumber : http://farahdiba.it.student.pens.ac.id/visitsumut/index.php?page=upacara1

7. Maccera Tasi - Bugis

Acara “Pesta Laut” atau Maccera Tasi “ adalah salah satu manifestasi Budaya Luwu mengenai hubungan antara ummat manusia dengan “Yang Maha Pencipta” maupun dengan seluruh makhluk hidup dan lingkungan hidupnya di alam ini.

Dalam Mythologie I La Galigo disebut bahwa pada masa paling awal (In Illo Tempora), bumi atau “atawareng” ini dalam keadaan kosong dan mati. Tidak ada satupun makhluk hidup yang berdiam dimuka bumi. Keadaan itu digambarkan oleh naskah I La Galigo bahwa tidak ada seekor burungpun  yang terbang diangkasa dan tidak ada seekor semutpun yang melata diatas muka bumi ini, serta tidak ada seekor ikanpun yang berenang di dalam lautan dan samudra.

Atas usul dari para menteri-menterinya yaitu Balasaariu, Ruma` Makkompong, Sanggiang Pajung, Rukelleng Poba, dan setelah melalui suatu musyawarah antara seluruh Dewa-Dewa Penguasa dari seluruh lapisan alam ini baik dari “ Boting Langi” atau Khayangan maupun dari “Toddang Toja” atau dasar samudra yang ketujuh, maka TopalanroE atau Yang Maha Pencipta memutuskan akan menciptakan kehidupan dimuka bumi atau atawareng ini, dengan tujuan agar kelak mereka akan mengucapkan do`a memohon keselamatan bila mereka ditimpa bencana dan malapetaka dan atau mengucapkan “Doa Syukur” bila mereka mendapat rahmat dan rejeki dari Yang Maha Esa.

http://pariwisatapalopo.blogspot.co.id/2011/11/acara-maccera-tasi.html
Demikianlah maka acara Pesta Laut atau Maccera Tasi ini adalah salah satu acara mengucapkan Doa Syukur atas nikmat dan rejeki dari hasil laut yang melimpah sebagai karunia dari Yang Maha Pencipta.
Acara ini dilakukan ditepi pantai tepat pada garis pantai pada saat pasang surut yang terjauh. Dan merupakan batas pertemuan antara dua lingkungan hidup atau ekologi yaitu pertemuan antara habitat daratan dengan habitat lautan.
Di dalam acara ini hubungan fungsional antara setiap mahluk hidup, baik manusia maupun Flora dan Fauna, dengan seluruh isi alam ini akan di tata kembali dan akan ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya secara harmonis, atau mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang sakral, yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Pencipta sebagai suatu hukum alam yang harus dipatuhi.
Dengan demikian diharapkan akan terhindar dari timbulnya Chaos atau kekacauan dan akan terciptalah  kosmos atau keteraturan yang serasi, sehingga terciptalah keseimbangan atau equilibrium abadi di ala mini yang merupakan manifestasi yang hakiki dari existensie Allah Subhana Wa Ta'ala.
Tanpa merubah essensi dari acara “Maccera Tasi” atau Pesta Laut seperti tersebut diatas, maka setelah kedatangan Islam, aqidah maupun ritualnya telah disesuaikan dengan Aqidah dan Syariat Islam, sesuai dengan kaidah adat Luwu yang mengatakan “ Pattuppui ri – Ade'E, Mupasanrei ri – Syara'E", yang secara bebas berarti bahwa setiap tindakan dan kegiatan harus selalu didasarkan pada adat dan disandarkan pada syariat agama Islam.

http://pariwisatapalopo.blogspot.co.id/2011/11/acara-maccera-tasi.htmlAcara ini dimulai di pagi hari pada saat matahari terbit, dengan harapan semoga rejeki kita akan senantiasa naik seperti matahari pagi yang sedang naik diufuk timur. Iring-iringan perahu menuju ke Ance atau Menara Upacara yang didirikan di atas permukaan laut.
Perahu tumpangan “Pua` Puawang” yang membawa “ Sebbu Kati” (Sajian) berada di depan diikuti oleh Pincara Datu Luwu dan Puang Ade atau Pemangku Adat. Kemudian disusul oleh perahu-perahu yang membawa “Rakki” atau santapan yang diletakkan di dalam usungan yang dihiasi, yang masing-masing di bawa oleh setiap kelompok masyarakat nelayan dari setiap Desa-Desa Pantai. Sesudah itu menyusul perahu-perahu nelayan yang ikut memeriahkan acara itu.

http://pariwisatapalopo.blogspot.co.id/2011/11/acara-maccera-tasi.htmlPada Waktu iring-iringan perahu tiba di Ance, maka Pincara Datu Luwu dan Puang Ade diikuti oleh perahu-perahu pembawa rakki dan perahu-perahu nelayan langsung mengambil tempat di tepi pantai. Sementara itu Perahu Pua’ Puawang yang membawa Sebbu Kati mengitari Ance’ sebanyak tiga kali.
Seperangkat alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak , dll turut dibawa dalam Perahu Pua’ Puawang, yang merupakan Simbol keikut sertaan Komunitas Petani dalam acara Pesta Laut itu.
Jadi acara Pesta Laut ini juga berfungsi mengintegrasikan komunitas nelayan yang berdiam di daerah pesisir, dengan komunitas petani yang berdiam di daerah daratan/pegunungan di dalam suatu acara berdoa dan bersyukur kepada Allah Yang Maha Pengasih secara kolektif.
Kemudian dilakukan acara “Massorong Sebbu Kati” atau menyerahkan sajian sebagai tanda syukur dan sekaligus merupakan doa kolektif dari masyarakat nelayan serta masyarakat petani bersama-sama yang dilakukan oleh Pua’ Puawang.

http://pariwisatapalopo.blogspot.co.id/2011/11/acara-maccera-tasi.htmlAcara ini diakhiri dengan melepaskan seekor ikan dalam keadaan hidup yang lebih dahulu telah diberi makanan secuil emas murni yang merupakan perlambang “Penghormatan” kepada biota laut dan lingkungan hidupnya.
http://pariwisatapalopo.blogspot.co.id/2011/11/acara-maccera-tasi.html
Sesudah itu diucapkan doa ucapan  syukur di atas Ance’ atau menara upacara, yang diucapkan oleh Pua’ Puawang sambil didampingi oleh seorang gadis yang belum aqil balig ( tennawettepa  dara ) yang berpakaian adat lengkap ( mabbulaweng ) yang melambangkan ketulusan dan kesucian niat dari pelaksanaan acara Pesta Laut atau Maccera Tasi tersebut.


Acara ini diakhiri dengan Pembacaan Doa oleh Pemuka Agama (Parewa Sara’). Dengan demikian maka acara “Pengucapan Syukur” telah dianggap selesai. Selanjutnya dilakukan acara  “Mappangngolo Rakki”  atau menyerahkan suguhan. Dalam acara Mappangngolo Rakki ini para pemangku-pemangku adat dari masyarakat Desa-Desa Pantai bergiliran menyerahkan sepiring nasi ketan empat warna (Sokko Patanrupa) dan sepasang ayam panggang yang utuh kehadapan Datu Luwu dan Puang Ade. Nasi ketan empat warna melambangkan keempat unsur alam yang utama yaitu : tanah , api, air dan angin, yang juga melambangkan unsur-unsur penting dari  tubuh manusia yaitu : tulang, daging, darah dan napas.

Sebutir telur di atas nasi ketan tersebut melambangkan kesatuan ala mini di dalam keesaan Yang Maha Kuasa. Sepasang ayam panggang melambangkan partisipasi dan keikutsertaan dari semua lapisan masyarakat.
         
http://pariwisatapalopo.blogspot.co.id/2011/11/acara-maccera-tasi.html
Setelah Datu Luwu dan Puang Ade menerima satu demi satu persembahan itu, maka salah seorang Pemangku Adat yaitu Opu Ande Guru Attoriolong membagi santapan dari setiap rakki tersebut (lise rakki) kepada para Puang Ade dan para Undangan atau pada yang hadir.
Kalau ada dua atau lebih komunitas nelayan yang pernah bersengketa sepanjang tahun lalu, maka biasanya Opu Ande Guru Attoriolong atas nama Datu Luwu memerintahkan agar kedua komunitas nelayan tersebut saling menukar “ Rakki” untuk disantap secara bersama-sama. Dengan demikian kedua komunitas nelayan tersebut dianggap sudah saling maaf memaafkan. Karena dalam budaya Luwu kalau ada dua pihak telah saling memakan makanan atau saling meminum airnya tidak lagi ada saling sengketa atau niat buruk antara mereka.
Jadi acara itu juga berfungsi sebagai sarana “ Rekonsiliasi” (saling memaafkan) untuk menciptakan suasana harmonis di dalam masyarakat. Selanjutnya seluruh hadirin dan masyarakat bersuka ria, makan dan minum sambil mandi-mandi di air laut atau mengikut permainan-permainan rakyat berupa lomba perahu dan lain-lain, sampai masing-masing merasa puas.

8. Katiana - Poso

http://breaktime.co.id/travel/the-story/uniknya-upacara-katiana-khas-suku-pamona.html/more

Suku Pamona sama dengan Suku Poso yang mendiami hampir seluruh Kabupaten Poso. Nenek moyang Suku Pamona sendiri berasal dari dataran SaluMoge (Luwu Timur). Setelah terjadinya pemberontakan DI/TII akhirnya suku ini menyebar dan sebaguan besar sampai di Sulawesi Tengah. Suku Pamona memiliki tradisi yang sangat unik yang harus Anda ketahui.
Sama halnya dengan suku-suku lain di Indonesia yang berusaha untuk melestarikan adat istiadatnya, Suku Pamona sangat memandang penting kelahiran seorang bayi. Hal itu yang membuat tumbuhnya tradisi Katiana. Tradisi ini adalah upacara selamatan pada masa kehamilan.
Tujuan dari upacara Katiana ini adalah untuk memohon keselamatan ibu yang sedang mengandung, rumah tangga, dan bayi yang ada dalam kandungan. Selain itu upacara ini juga bermanfaat untuk psikologis sang ibu untuk tetap tenang dan kuat dalam menghadapi hal-hal yang terjadi selama 9 bulan mengandung.
Pelaksanaan upacara ini dipimpin sepenuhnya oleh Topopanuju atau seorang dukun perempuan berusia 50 tahun. Upacara ini juga dilaksanakan dengan menggunakan alat berupa sirih pinang, piring-piring adat, alu (alat menumbuk padi), tikar dari pandan, dan bambu diisi dengan air. Tempat yang digunakan untuk upacara pun dilaksanakan di rumah orang tua sang istri.

http://breaktime.co.id/travel/the-story/uniknya-upacara-katiana-khas-suku-pamona.html/more
Waktu pelaksanaan upacara Katiana ini ketika usia kandungan memasuki 7 bulan dan bulan bersinar sangat terang, yaitu pada malam tanggal 7 sampai tanggal 15 berdasarkan siklus peredaran bulan. Jika waktu pelaksanaan upacara salah atau tidak sesuai, maka akan terjadi bencana.
Tidak hanya itu, upacara ini juga memiliki pantangan yang harus dijalani. Dalam upacara Katiana terdapat dua pantangan, yaitu pantangan bersifat khusus dan umum. Pantangan yang bersifat khusus antara lain, tidak boleh marah-marah, dilarang menyembelih binatang, wanita yang mengandung harus selalu membawa lemon suanggi. Pantangan yang umum adalah semua benda yang menggantung harus diturunkan dan belanga dan tikba yang tertutup harus dibuka.

Sumber : http://breaktime.co.id/travel/the-story/uniknya-upacara-katiana-khas-suku-pamona.html/more

9. Etu - Flores


Etu  adalah kesenian tradisional yang memperagakan adu ketangkasan antara para pria dewasa diwilayah persekutuan adat Nagekeo dan sekitarnya. Permainan adu ketangkasan ini selain merupakan arena pentas kesenian tetapi juga merupakan ritual adat untuk melengkapi siklus kehidupan masyarakat adat Nagekeo.
Menurut salah satu pemuka adat Nagekeo dikampung Boawae, Cyrilus Bau Engo, etu telah dipentaskan sejak puluhan tahun silam secara turun temurun. Namun, tidak ada satu sumber pun yang menyebutkan secara pasti sejak kapan etu mulai dipentaskan. Diperkirakan, kegiatan ini mulai dipentaskan sejak masyarakat persekutuan adat tidak lagi terlibat dalam perang antar suku (papa wika). Ada versi yang menerangkan bahwa kegiatan ini dibuat sebagai salah satu persembahan darah kepada bumi (ibu pertiwi), sehingga bukan hal yang baru jika ada petinju yang keluar dari arena dengan wajah lebam bardarah-darah. Diyakini oleh mereka, luka yang diderita akan segera sembuh jika di sentuh oleh tabib kampung.

Jika dikaitkan dengan kelender adat, etu biasa dipentaskan pada musim kemarau, atau pada masa senggang sesudah panen. Selama masa itu, etu dipentaskan pada beberapa kampung adat yang memiliki adat tinju yang dipegang salah satu suku yang mendiami kampung tersebut dan biasa disebut “moi buku ‘etu” (pemegang adat tinju). Giliran antar kampung ditentukan waktunya sesui perhitungan yang mendasarkan pada peredaran bulan sehingga etu selalu dipentaskan pada saat bulan purnama.
http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.html
Para petarung akan memasuki sebuah arena ditengah kampung yang disebut “kisa nata”. Arena ini dibatasi oleh pagar dari tonggak kayu yang dirangkaikan dengan tali sehingga menjadi semacam ring tinju berlantai tanah yang dalam bahasa adat disebut “mada”  Mada membujur sesuai dengan tata letak kampung adat. Penonton yang menyaksikan etu berdiri diluar mada. Jangan berharap perempuan ada didalam mada, karena sudah tentu itu adalah hal yang “pamali” bagi sang petinju.

http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.html
Jelang beberapa hari pada saat bulan terang sebelum tinju, digelarkan kegiatan pemanasan dan ajang latihan bagi petinju – petinju pemula, sekaligus pengumuman bahwa di kampung tersebut akan digelarkan etu. Selanjutnya, malam menjelang etu dipentaskan, seluruh masyrakat adat menggelar tarian dan nyanyian.  Rangkaian kegiatan ini adalah ungkapan yang menggambarkan tentang budidaya tanam padi sejak kerinduan menantikan kedatangan hujan sampai saat panen.  Menariknya, dalam tradisi ini , kaum muda mudi dapat menjadikannya sebagi ajang perkenalan. Sang pemuda akan melempar pantunnya, yang kemudian akan dibalas oleh sang pemudi. Sepanjang malam, kaum tua dan muda akan larut dalam tarian dan nyanyian.
Pagi – pagi sekali, pemegang adat tinju dan seluruh anggota suku yang laki – laki pergi ke “loka lanu” yaitu tempat berkumpul untuk menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan para leluhur sambil memohon keselamatan bagi para petinju, sehingga para petinju yang terluka cepat sembuh dan dalam kenyataannya, luka karena bertinju adat, paling lama tiga hari sudah sembuh. Sesudah upacara persembahan dan doa di loka lanu mereka akan menuju kampung sambil menyanyi dan menari. Sampai dikampung akan melakukan semacam seremoni pembukaan dengan pura – pura bertinju dengan seseorang sebagai tanda bahwa acara tinju dapat dimulai.
Para penonton mulai berdatangan. Tidak sampai satu jam, arena etu sudah dipadati para penonton dari berbagai penjuru kampung. Ada juga yang datang dari luar kampung. Kebanyakan dari mereka memakai sarung adat, sedangkan kaum lelaki mengenakan ikat kepala. Disini, penonton tidak perlu ragu kemana harus mencari pengganjal perut jika lapar. Hidangan cuma-cuma akan diberkan kepada siapapun yang datang. Masayrakat adat di sekitar kampung akan menjemput dan mengajak kita menikmati makanan yang telah disiapkan disetiap rumah.

sumber : http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.htmsumber : http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.htm

Kedua petinju pun mulai diperhadapkan oleh “Moi Seka”. Orang inilah yang akan bertindak sebagai wasit, sekaligus juri. Tidak seperti petinju yang kebanyakan kita tonton, disini para petinju akan dipasang kain pengalas dada, ikat pinggang dari kain, dan ikat kepala. Yang terakhir adalah alat meninju lawan atau dalam bahasa setempat disebut “Keppo”. Tidak seperti sarung tinju para profesional, alat gebuk ini berupa tali ijuk yang dipilin kecil-kecil, selanjutnya digumpal kira-kira pas dalam genggaman. Permukaan keppo kasar, siapapun yang terkena pukulan benda ini pasti akan berdarah.


Penonton semakin tidak sabar menjejal di sekitar arena. Dari ujung arena, sang petinju mulai kelihatan. Petinju ini akan dikawal oleh seorang “Moi sike”. Dia  berfungsi menjaga agar petinju tidak jatuh dan kadang kala bisa membantu menangkis pukulan yang diarahkan ke arah perut petinju. Orang ini harus lincah mengikuti gerak gerik petinju ketika menyerang maupun menghindari pukulan lawan. Moi sike harus maju dan mundur seirama dengan petinju.
sumber : http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.htm
Kedua petinju mulai merengsek maju ketika wasit menepuk tangan. Satu dua pukulan mulai dilontarkan, jauh dari kesan seorang petinju profesional. Moi sike terlihat kerepotan menarik kain pinggang masing-masing petinju ketika mereka mulai terbakar emosi. Sebuah pukulan telak berhasil didaratkan salah satu petinju di wajah lawan. Wasit langsung memisahkan keduanya. Petinju yang berhasil mendaratkan bogem mentahnya terlihat bangga, sambil melompat-lompat kegirangan, sesekali menepuk dada. Pihak lawan tak puas. Pertarungan kembali dilajutkan. Jual beli pukulan terjadi. Pelukan, saling tarik, menambah panas suasana. Teriakan penonton semakin membakar emosi sang petarung. Wasit pun tidak mau ambil resiko, pertandingan pun diakhiri. 
  
sumber : http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.htm Seorang petinju dinyatakan sebagai pemenang. Kedua petinju di giring oleh sang wasit. Disini jelas kelihatan semuanya akan berakhir dengan perdamaian. Kedua petinju saling berpelukan. Luka dan darah di wajah ternyata bukan pemicu dendam di luar pertandingan. Sorak penonton mengiring sang jagoan keluar dari arena.”Kami bertinju untuk berdamai”, ujar sang petinju sambil melambaikan tangannya kepada penonton.
Pertarungan berikutnya mulai dipersiapkan. “Mosa laki” mulai melirik para pemuda di masing-masing kubu petinju.. Mereka ini ibarat “promotor” yang mencari para petinju yang ingin mengadu ketangkasan sebagai petinju adat di tengah arena. Biasanya ada jago tinju dari masing-masing kampung. Kejelian para mosalaki lah yang mempertemukan mereka di tengah arena. Caranya macam- macam, mulai dengan membujuk secara baik-baik, memanas-manasi bahkan kadang-kadang dipaksa dan diseret  ke “ring”.

Pada saat mosa laki sedang mencari petinju dan para pembantu menyiapkan petinju untuk tampil di arena, masyarakat dihibur dengan kesenian “melo ‘etu”. Ini adalah kesenian rakyat yang terdiri dari tarian dan nyanyian diiringi tetabuhan dari sebatang bambu yang diletakan didepan sekelompok penyanyi lagu adat sambil memukul – mukulnya dengan batang kayu. Mereka akan bernyanyi bersahut – sahutan dengan seorang penari yang berfungsi sebagai solois dan dirigen . Syair lagu berisikan kata – kata pujian dan nasihat bagi para petinju. Pada saat petinju sedang bertinju, rombongan melo etu  beristirahat. 
sumber : http://awalnya.blogspot.co.id/2011/12/ritual-adu-fisik-ala-nagekeo.htm

Kegiatan tinju dan melo etu akan terus digelarkan secara bergantian sampai tidak ada lagi petinju yang mau bertinju. Hari menjelang senja, sesepuh adat menyiramkan satu tempurung air ke tengah-tengah arena sebagai tanda orang harus bubar dan kembali ke kampung masing-masing untuk nonton lagi ke kampung-kampung lain yang ada adat tinju sesuai giliran waktu yang sudah ditentukan sesuai peredaan bulan.

10. Aruh Baharain - Dayak

http://jalan-jalan-kalimantan.blogspot.co.id/2010/06/upacara-adat-aruh-baharin.html
Bagi sebagian masyarakat di Nusantara, terutama bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dari bertani padi, musim panen adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Selain bermakna ekonomi, musim panen padi juga mengandung makna spritual. Oleh sebab itu, sebagian masyarakat menggelar ritual-ritual tertentu atau upacara-upacara khusus sebelum atau sesudah musim panen padi tiba. Salah satunya adalah upacara adat Aruh Baharin yang digelar oleh masyarakat Dayak yang berdomisili di Desa Kapul, Kecamatan Halongan, Kabupaten Balangan, Provinsi Kalimantan Selatan. Biasanya, upacara dipusatkan di balai adat, rumah adat, atau di tempat-tempat khusus yang sengaja dibuat untuk keperluan upacara adat Aruh Baharin.

Pada awalnya, Aruh Baharin merupakan upacara adat yang dihelat oleh masyarakat Dayak Halongan pemeluk agama Kaharingan (agama suku Dayak) setelah musim panen padi ladang (pahumaan) usai. Tujuan digelarnya upacara ini adalah sebagai perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen padi ladang yang melimpah, sekaligus penghormatan terhadap arwah leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari berbagai marabahaya. Mereka meyakini, beras hasil panen (baras hanyar) belum boleh dimakan, sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, upacara adat yang diwariskan secara turun-temurun ini juga digunakan untuk mensyukuri hasil usaha lainnya, seperti berdagang, beternak, nelayan, dan lain sebagainya. Begitu pula pelaksanaannya, yang tidak hanya diikuti oleh masyarakat Dayak pemeluk agama Kaharingan, tapi juga diikuti oleh pemeluk dari berbagai agama yang terdapat di Desa Kapul. Bahkan, upacara adat ini juga dihadiri oleh masyarakat yang berada di sekitar Desa Kapul, serta tokoh masyarakat dan pemuka adat dari kabupaten dan provinsi lain di Pulau Kalimantan yang sengaja diundang untuk menghadiri upacara ini.

Biasanya, pada upacara yang digelar selama tujuh hari tujuh malam berturut-turut ini disembelih beberapa ekor kerbau, kambing, dan ayam. Upacara adat tersebut juga dilengkapi dengan berbagai keperluan-keperluan lainnya, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pihak penyelenggara maupun yang berhubungan dengan kelengkapan upacara itu sendiri, yang mana membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Agar tidak terlalu memberatkan, biaya untuk pelaksanaan upacara ini ditanggung bersama oleh kelompok masyarakat adat yang terdapat di Desa Kapul. Di desa tersebut terdapat tiga kelompok masyarakat adat, di mana setiap kelompok adat biasanya terdiri dari 25 sampai 30 kepala keluarga. Selain itu, untuk meringankan pihak penyelenggara, upacara adat Aruh Baharin belakangan ini digelar tiga tahun sekali dan bahkan lima tahun sekali.